Belajar tidak mengenal usia, ataupun status sosial seseorang. Setiap insan berhak mendapatkannya.
Selasa, 04 Februari 2014
Bersama Kesulitan, Pasti Ada Kemudahan (Kisah Pahit Pak Udin)
Jika dipikir dengan logika dan ketenangan pikiran, tentu beban kerja yang sama akan melahirkan penghasilan yang sama. Artinya, beban itu menjadi penentu untuk memberikan penghargaan atau salah satu bentuk perhatian. Namun, ada sebuah profesi yang membuat miris hati setiap yang mendengarnya. Profesi itu adalah guru honorer. Ya, guru honorer atau guru tidak tetap.
Guru honorer adalah guru yang bekerja karena dibutuhkan oleh lembaga pendidikan dengan status tidak tetap. Artinya, guru honorer adalah guru yang diberi honor atau penghargaan karena membantu pelaksanaan pembelajaran di sekolah tersebut. Jika sekolah masih memerlukan bantuannya, sekolah masih menggunakannya. Namun, sekolah akan “membuang”-nya jika sekolah tidak lagi membutuhkannya. Inilah kisah pagiku.
Beberapa bulan lalu, aku bertemu dengan seorang sahabat dalam sebuah kegiatan pengajian, sebut saja bernama Udin. Waktu itu, aku diminta menjadi sekadar narasumber kegiatan itu. Pada awalnya, kami tidak saling mengenal satu sama lain. Namun, Pak Udin menemuiku usai aku memberikan sekadar pengajian.
Pada pertemuan itulah, Pak Udin berkeluh kesah tentang status kepegawaiannya. Pak Udin bercerita bahwa ia telah bekerja pada sebuah sekolah. Institusi itu tergolong besar dan sekolah yang cukup terkenal di kotaku. Semua orang pasti pernah mendengar kehebatan dan atau nama besar sekolah tersebut, termasuk diriku.
Pada ceritanya, Pak Udin mengkhawatirkan statusnya. Menurut kabar yang tersiar, Pak Udin akan dipecat. Mengapa? Karena Pak Udin dianggap membangkang alias tidak menurut perintah atasan. Menurut ceritanya, Pak Udin memang tidak menyetujui usulan pimpinan dalam sebuah rapat. Pak Udin berpendapat bahwa kegiatan itu akan memberatkan dan membebani orang tua siswa. Akhirnya, Pak Udin berani “bersuara beda” dalam rapat itu.
Buntutnya, Pak Udin mendapat sanksi awal, yaitu pengurangan jam mengajar. Dari semua 26 jam pelajaran per minggu menjadi 14 jam pelajaran per minggu. Pak Udin sudah merasakan keberadaan “firasat buruk” itu. Sebelum dirinya mendapat sanksi, teman Pak Udin pernah mengalami kejadian yang sama. Pada akhirnya, teman Pak Udin dipecat.
Pengurangan jam mengajar itu tentu sangat berpengaruh terhadap penghasilannya. Sekolah itu menerapkan kebijakan pemberian honor dengan memperhitungkan beban jam pelajaran. Pada awalnya, Pak Udin mendapat honor sebesar Rp 700.000 setiap bulannya dengan beban mengajar 26 jam pelajaran. Honor sebesar itu merupakan penggabungan atas honor setiap jam mengajar, transport, insentif, dan pekerjaan tambahan.
Karena dikurangi 12 jam, Pak Udin hanya akan mendapatkan sekitar Rp 500.000 setiap bulannya. Tentu uang sejumlah itu tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya. Pak Udin sudah beristri dengan dua orang anak. Darimana dan bagaimana Pak Udin mencari solusi dari masalah itu?
Sebagai sahabat, aku merasakan kegelisahan yang sama. Sikap empati itu langsung tumbuh subur dalam hati. Aku merasakan kecemasan yang sama dengan yang dirasakan Pak Udin. Kegelisahan untuk menentramkan diri dan keluarganya. Bagaimanakah kondisi itu jika aku yang mengalaminya? Tentu aku juga akan merasakan kecemasan, terkhusus nasib anak dan istri.
Atas peristiwa itu, aku mencoba memberikan solusi kepada Pak Udin. Kebetulan aku pernah menjadi instruktur nasional pada sebuah bimbingan belajar yang cukup terkenal. Jadi, aku berusaha memberikan bimbingan berdasarkan pengalaman pribadi. Pada intinya, aku menyarankan Pak Udin agar membuka les bagi anak-anak SD. Seiring dinamisnya dunia pendidikan, bimbingan belajar atau private masih dibutuhkan masyarakat. Terlebih, Pak Udin tinggal di kota.
***
Kemarin (Jumat, 26 Mei 2011), aku bahagia sekali. Rasa bahagia itu tak terukur dengan materi. Rasa senang dan suka-cita bercampur menjadi satu. Bukannya aku mendapatkan royalty buku. Bukan pula aku menjadi juara satu. Rasa bahagia itu disebabkan perjumpaanku dengan Pak Udin. Beliau tampak sumringah sekali. Jelas tergambar kebahagiaan yang luar biasa.
Pertemuan singkat di kampus itu benar-benar memberikan kesejukan hati dan kebahagiaan tak terkira. Bimbingan belajar yang dirintis Pak Udin berkembang pesat. Bimbingan belajar yang dikelolanya diterima baik oleh masyarakat. Bahkan, Pak Udin sering kewalahan menerima permintaan masyarakat untuk memberikan les atau privat kepada anaknya. Atas rezeki itu, Pak Udin melanjutkan kuliahnya di kampusku. Wouw, luar biasa!
Demikianlah, para sahabat yang budiman. Ada kalanya kita disedihkan oleh situasi yang benar-benar membuat kita sedih. Namun, yakinlah bahwa bersama kesulitan pasti tersedia kemudahan. Kesulitan di sisi lain tentu akan dimudahkan di sisi lain pula. Kekuatan mental teramat bernilai agar pribadi tak cepat berputus asa. Selamat kepada Pak Udin. Tidak pernah ada kisah yang terceritakan bahwa orang belajar menjadi miskin. Selamat menempuh pendidikan lanjutan.
Sekadar menorehkan pengalaman. Semoga kisah di atas menginspirasi diri dan pembaca untuk menjadi pribadi yang “tahan banting”. Amin. Terima kasih.
Label:
Perjuangan
,
Sekolah
,
Sulit
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar